Profil saya

@ Saya lahir di Kecamatan Muara Kaman (Kutai Kertanegara) pada 01 Maret 1963 @ SD. Negeri 28 samarinda 1976. @ SMP. Negeri I Samarinda 1979/1980 @ SMA. Negeri I Samarinda 1982/1983. @ Mahasiswa Unijaya Fakultas Ekonomi 2009. @ Karyawan PT. Pupuk Kaltim @ Arbayah Istri saya @ Abidea Bima Ramdani anak I @ Adhewara Ar Yupa anak II @ Adhitiya Fajar Al-Huda. "Dan saya suka sekali yang namanya bersosialisasi dengan orang lain". setiap mahluk hidup di dunia ini akan mati, tetapi alangkah bermakna hidup ini bila kita dapat mengisinya dengan kebaikan-kebaikan terhadap sesama

Rabu, 04 Mei 2011

KEBIJAKAN EKONOMI INTERNASIONAL PERANAN IMF

KEBIJAKAN EKONOMI INTERNASIONAL PERANAN IMF

Gambaran ini merupakan draft pendahuluan dari makalah yang dibuat oleh Sekretariat Commonwealth untuk presentasi pada Konferensi mengenai Negara-negara Berkembang dan Perancangan Finansial Dunia yang diselenggarakan oleh Sekretariat Commonwealth dan Bank Dunia di London pada tanggal 22-23 Juni 2000. Penulis berterima kasih pada C. Fred Bergsten, Morris Goldstein, Stephany Griffith-Jones, dan Kevin Morrison atas komentar mereka mengenai draft sebelumnya.

Pendahuluan
Banyak diskusi mengenai perancangan finansial internasional yang baru yang menjamur oleh krisis Asia timur yang dialami dengan peranan IMF di masa mendatang...klick headline diatas Gambaran kebijakan ini dimulai dengan merangkum rekomendasi dari lima laporan terakhir dan satu pidato, dan alasan di belakangnya. Rekomendasi tersebut dibagi ke dalam empat area utama: 1) batasan kegiatan IMF, 2) pengawasan, 3) pinjaman, dan 4) governance (yang mana topik tersebut juga saya rangkum pandangan mengenai makalah akademis terakhir). Saya memaparkan putusan saya sendiri mengenai ketiga topik pertama di bagian terakhir dari gambaran ini.

Satu dari lima laporan yang dipertimbangkan merupakan terbitan gabungan oleh International Center for Monetary and Banking Studies di Jenewa dan Centre for Economic Policy Research (CEPR) di London. Laporan tersebut dibuat oleh Jose de Gregorio, Barry Eichengreen, Takatoshi Ito dan Charles Wyplosz (1999). Laporan tersebut juga berisi pandangan singkat dari proposal reformasi alternatif, oleh Kiichi Miyazawa, Jeffrey Sachs, Sebastian Edwards, Perancis, Inggris dan Itali dan ide dari dana daerah. Hal ini didiskusikan pada saat konferensi yang diadakan di Jenewa tahun 1999, yang mana juga dilaporkan di edisi ini. Hal ini kemudian akan disebut sebagai Laporan Jenewa.
Laporan kedua adalah bahwa Independent Task Force disponsori oleh Council of Foreign Relations (1999). Tugas ini digabung bersama Carla Hills dan Peter Peterson, dengan kolega saya Morris Goldstain sebagai direktur proyek dan 23 orang terkenal lainnya yang merupakan anggota dari pembangunan internasional Amerika (termasuk C. Fred Bergsten, direktur Institute for International Economics). Laporan ini kemudian akan disebut sebagai laporan CFR. Dalam laporan ini terdapat delapan pernyataan Pandangan Penolakan, namun semua anggota menandatangani laporan utama tersebut.

Laporan ketiga dilaporkan oleh G-24 dan disusun oleh Montek Ahluwalia di tahun 1999. Diterbitkan oleh Konferensi PBB mengenai Perdagangan dan Pembangunan pada volume terakhir dari seri penerbitan studi kasus G-24. Laporan ini kemudian akan disebut sebagai Laporan Ahluwalia.

Laporan keempat adalah International Financial Institution [sic] Advisory Commission yang didirikan oleh badan Kongres Amerika dan diketuai oleh Allan Meltzer, dengan sepuluh anggota tambahan yang terdiri dari pihak akademisi seperti Charles Calomiris, Jerome Levinson, dan Jeffrey Sachs, bisnisman, politisi dan Direktur think thank C. Fred Bergsten dari Institute for International Economics dan Edwin Feulner dari Heritage Foundation. Diluar dari kata “Institution” yang berarti satu institusi dalam judul laporan tersebut, istilah institution sebenarnya juga mengikutsertakan Bank Dunia, tiga bank pembangunan daerah, World Trade Organization (WTO), dan Bank for International Settlements (BIS), sebagai tambahan dari IMF. Laporan ini diterbitkan di bulan Maret 2000, dan akan disebut sebagai laporan IFIAC. Laporan ini juga melampirkan dua “Laporan Support” yang berargumen bahwa laporan tersebut tidak berjalan jauh dari international financial isntitutions (IFI), Joint Minority Statement oleh empat anggota (termasuk Bergsten dan Levinson) yang tidak menandatangani laporan utama.

laporan yang kelima adalah kelompok tugas yang dibuat oleh Overseas Development Council di Washington yang dilaporkan pada bulan April 2000. Badan ini diketuai bersama oleh John Sewell dan Sylvia Saborio, diarahkan oleh Kevin Morrison, dan terdiri dari 11 anggota dari akademia, think tank, dan LSM, “yang menyetujui semua saran dan rekomendasi yang terdapat dalam laporan tersebut, namun tidak untuk semua pendapat dan empasis.” Saya merupakan anggota kelompok tugas ini, seperti juga Nancy Birdsall dan Joe Stiglitz. Laporan ini kemudian akan disebut sebagai Laporan ODC.

Derajat konsensus yang tercermin dalam lima sumber ini cukup bagus. Semua direfleksikan dengan mission creep, dan mendorong IMF untuk memusatkan perhatian pada kemampuan inti yang dimilikinya.
Pidato tersebut dimasukkan tentu saja, diberikan oleh Sekretaris Treasury Lawrence Summers Amerika di London Business School Desember yang lalu (musim panas 1999).
Enam diskusi kerja ini termasuk pandangan-pandangan lebih jauh oleh kelompok akademis internasional, beberapa kelompok dari Amerika yang memiliki kualitas baik dan bagus, badan resmi dari negara berkembang yang menulis atas nama negara-negara berkembang dalam kelompok G-24, kelompok campuran milik Amerika yang menulis laporan untuk badan Kongress Amerika, kelompok campuran lainnya yang sebagian besar terdiri dari orang Amerika yang perduli terhadap masalah-masalah negara bekembang, dan Sekretaris Treasury Amerika Serikat. Meskipun terdapat beberapa bias mengenai sumber-sumber Amerika, saya percaya hal ini berdasarkan pemikiran yang beralasan dan terpercaya untuk mengembagkan proposal ini.

Batasan Kegiatan IMF

Tidak semua dari enam dokumen yang dibahas dimaksudkan untuk keempat topik yang saya kembangkan dalam bahasan ini. Batasan yang sesuai untuk kegiatan IMF, misalnya, tidak dibahas sama sekali dalam Laporan Jenewa.
Laporan CFR juga membahas tentang topik ini namun tidak terlalu mendetail, namun hal tersebut sangat mendesak bagi IMF (dan, dalam hal ini, Bank Dunia) untuk “kembali ke dasar.” Ditekankan (hal. 115) bahwa IMF masih perlu untuk membantu negara-negara menyelesaikan masalah pembayaran hutang mereka dengan cara yang bertanggung jawab, membahas tentang krisis likuiditas, dan bertindak selaku manajer krisis atau convenor, dan di tempat lain membahas peranan IMF dalam menghindari terjadinya krisis. Juga ditekankan bahwa “IMF kehilangan fokus dan efektifitasnya berkurang karena telalu banyak bekerja. Terutama, IMF harus membatasi batasan persyaratan untuk moneter, fiskal, nilai tukar, dan kebijakan sektor keuangan” (hal. 116). Namun pengawasannya perlu diperhatikan dengan melakukan pengawasan dengan standar keuangan, dan juga makro yang fundamental.

Laporan Ahluwalia (hal. 22) tidak menyetujui merger antara IMF dan Bank Dunia dikarenakan terdapat peran yang penting dan berbeda untuk IMF menangani krisis, dalam hal pencegahan (melalui pengawasan) dan manajemen (melalui pembiayaan). Laporan tersebut juga mengatakan bahwa “pembiayaan seperti tiu tidak harus dalam bentuk jangka panjang dan jelas tidak bersifat concessional.” Juga disebutkan bahwa “IMF harus lebih fokus pada sumber-sumber ketidakstabilan dalam sistem keuangan internasional atau susunan awalnya. Juga dapat disebutkan bahwa kegiatan pembiayaan yang berhubungan dengan masalah neraca pembayaran yang rusak dari negara-negara berpendapatan rendah, contoh Enhanced Struktural Adjustment Facilities (ESAP) dan.....inisiatif dari Heavily Indebted Poor Countries (HIPC).....mungkin harus diangkat ke Bank Dunia, dengan kerjasama dari IMF dalam memberikan bantuan yang bersifat teknis.

Rangkuman resmi dari Laporan IFIAC menyatakan bahwa “IMF harus terus bertindak sebagai manajer krisis berdasarkan peraturan baru yang memberikan negara-negara anggota insentif untuk meningkatkan keamanan dari sistem keuangan mereka” (hal. 6). Laporan tersebut juga menyebutkan tiga peranan yang dijalankan: 1) dalam berperan sebagai quasi-lender of last resort untuk membangun ekonomi, 2) dalam mencari data, menerbitkan dan menolak data mengenai negara-negara anggota; 3) dan dalam memberikan saran (sebagaimana bila diharuskan untuk menjalankan persyaratan) sehubungan dengan kebijakan ekonomi (hal. 42-43). Laporan tersebut menyetujui berakhirnya pinjaman jangka panjang, dan terutama mengusulkan penutupan hal yang disebut “Fasilitas untuk Bantuan Kemiskinan dan Pembangunan” (hal. 43). Laporan teersebut juga menyarankan utuk penggantian persyaratan pra-kualifikasi, berdasarkan garis besar prinsip yang disebutkan dalam bagian pemberian pinjaman di bawah ini.
Laporan CFR........ menyatakan bahwa “IMF kehilangan fokusnya dan efektifitasnya berkurang karena terlalu banyak pekerjaan yang dilakukannya.....”
Laporan ODC mengatakan bahwa kemampuan inti dari IMF dalam hal kebijakan ekonomi makro, dan melihat peran sentral dalam hal menghindari krisis, ketika hal tersebut gagal dilaksanakan, disarankan untuk melaksanakan pemulihan yang cepat dari krisis. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa hal tersebut berarti pemberian pinjaman harus dibatasi dengan memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek untuk krisis ekonomi makro, dan menyarankan pemindahan fasilitas bantuan untuk pengurangan kemiskinan dan pembangunan (Poverty Reduction and Growth Facility/PRGF) ke Bank Dunia. Fasilitas tersebut harus ditujukan untuk negara-negara yang paling miskin, namun hanya dalam konteks pinjaman darurat, sebagaimana halnya negara-negara anggota lainnya. IMF harus meneruskan perannya dalam hal pengawasan, ditujukan untuk memberikan saran yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya krisis. Namun laporan tersebut juga menyatakan bahwa statistik harus dibuat dan dilaksanakan oleh badan statistik independen, bukan oleh IMF (Atau Bank Dunia).

Pidato Summers juga menyatakan perlunya fokus dalam hal kemampuan inti (hal. 5), namun dapat disimpulkan hal ini dibahas lebih umum daripada yang dibahas dalam laporan ODC. IMF harus mendorong stabilitas finansial negara, arus modal yang stabil antar negara, dan pemulihan yang cepat dari masalah keuangan (hal. 3). Summers juga menyimpulkan bahwa hal ini mengacu pada enam daerah penting: 1) mengusahakan kelancaran arus informasi dari pemerintah kepada pasar dan nvestor, 2) memberikan perhatian pada kerentanan finansial dan dasar ekonomi makro, 3) mengembangkan peranan keuangan yang lebih selektif dengan memfokuskan pada keadaan darurat, 4) membuat penyelesaian berdasarkan pasar, 5) memusatkan perhatian pada pembangunana dan pengurangan kemiskinan di negara-negara miskin, dan 6) memodernkan IMF sebagai suatu insititusi.
Tingkat konsensus yang tercermin dalam lima sumber ini cukup bagus. Semua mengacu pada perhatiaan untuk creep misi, dan mendorong IMF untuk fokus pada keahliannya yang utama. Semua laporan memandang bahwa IMF memiliki peran sentral dalam menetapkan tujuan untuk mencegah krisis finansial, dan dalam mengatur ketika krisis akhirnya terjadi. Semua menginginkan IMF untuk terus memberikan pinjaman ketika dalam masa krisis. Semua setuju untuk meneruskan pengawasan, dan hal ini berarti memfokuskan pada standar finansial dan kerentanan serta fundamental ekonomi makro secara tradisional.

Di luar dari hal-hal yang disetujui di atas, terdapat perbedaan besar antara mayoritas IFIAC dengan lima laporan lainnya (dan juga minoritas IFIAC), mengenai nilai dari IMF itu sendiri. Semua orang kecuali mayoritas IFIAC menekankan perlunya sebuah institusi internasional untuk bekerja sama dalam kebijakan ekonomi makro antar negara-negara di duni, membantu menghindari terjadinya krisis, dan untuk membantu negara-negara mengatasi krisis yang telah terjadi. Semua nampak setuju bahwa negara akan menjadi lebih baik bila telah ada kerjasama internasional yang dibangun antar negara. Mayoritas IFIAC dimulai dengan mengatakan bahwa dari pertimbangan bahwa pinjaman IMF dapat mendorong terjadinya krisis moral (pemandangan yang penting untuk “tidak disebutkan kembali,” seperti yang disebutkan dalam laporan¹), dan setuju walaupun dengan berat hati (dan kehilangan dua dari anggotanya) bahwa dapat dimungkinkan batasan peranan untuk IMF.
Dalam issue yang lebih konkrit lagi topik yang diperdebatkan akan terlihat seperti:
apakah IMF arus tetap memelihara PGRF (Summer berkata ya), apakah malah seharusnya ditutup (menurut laporan mayoritas IFIAC), atau apakah harus dipindahkan ke Bank Dunia ( Ahluwalia dan ODC); dan apakah pengumpulan dan diseminasi statistik harus dilakukan oleh badan tersendiri, sebagaimana diusulkan oleh ODC.
Pengawasan
Ada dua bentuk pengawasan yang dijalankan IMF: 1) pengawasan umum terhadap ekonomi dunia, sebagaimana disebutkan dalam terbitan dua tahunan World Economic Outlook dan Laporan tahunan Pasar Modal Internasional, dan 2) pengawasan terhadap satu negara, dilaksanakan berdasarkan Pasal IV mengenai konsultasi. Tidak seorangpun yang tidak menyetujui penggunaan alat-alat dahulu, atau memberikan saran yang bersifat spesifik mengenai apa yang seharusnya dilakukan IMF, kecuali dalam laporan Ahluwalia yang menyatakan IMF harus membuat gambaran yang jelas mengenai informasi ini untuk membahas masalah negara berkembang ke dalam diskusi G-7. Perdebatan ini difokuskan pada pengawasan terhadap satu negara, dan bagimana hal ini dapat dikembangkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya krisis.
Laporan Jenewa menyarankan bahwa pengawasan harus mencari kejelasan di mana kelemahan yang dimiliki negara seperti sistem perbankan, kebijakan penetapan nilai tukar, tingkat cadangan devisa, atau standar akuntansi, dan memberikan pemberitahuan kepada negara-negara tersebut mengenai kelemahan itu. Dapat dilihat bahwa kekurangan IMF dalam hal bidang-bidang dimana standar sangat diperlukan dan dikembangkan, dan penting untuk IMF menerima standar yang dirancang oleh pihak lain, namun perannya tetap dalam hal mengawasi, dengan menggunakan tenaga ahli dari institusi lain dalam menjalankan misinya.

Laporan CFR juga menyarankan bahwa IMF harus memusatkan perhatian pada setap negara anggota berdasarkan standar keuangan internasional seperti Standar Diseminasi Data Khusus IMF (Special Data Dissemination Standard), Prinsip Penting Pengawasan Perbankan yang efektif dari Basel Committee, dan standar akuntansi internasional, dengan aturan nilai tukar yang “aktif”, kehati-hatian dalam manajemen hutang, dsb. Hasil tidak disebarkan secara rahasia, meskipun demikian, laporan tersebut menyarankan sebaiknya IMF menerbitkan secara berkala “laporan standar” yang memuat setiap detail dari performa setiap negara, dan juga laporan Pasal IV yang memuat kebijakan dan prospek. Laporan tersebut melihat keuntungan untuk menuruti standar ini yang diperlihatkan oleh biaya yang lebih rendah untuk pasar pinjaman, akses yang lebih murah untuk kredit IMF bila negara harus melakukan pinjaman, dan persyaratan pemenuhan modal yang lebih rendah untuk pinjaman bank terhadap negara-negara tersebut (hal. 93-97). IMF harus mendorong negara-negara yang memiliki sektor finansial domestik yang rapuh dan kerangka prinsip kehati-hatian yang lemah untuk menjalankan pembebanan pajak untuk arus masuk modal seperti yang digunakan negara Chili (hal. 98).
Terdapat antusiasme umum untuk pengumpulan data,.......transparansi, publikasi, dan pengawasan terus menerus.
Laporan Ahluwalia menyatakan bahwa pengawasan merupakan kegiatan inti IMF dan menyarankan agar hal tersebut diperkuat, terutama dengan lebih memberikan infomasi penting pada pasar uang.

Laporan IFIAC hanya mengulas sedikit tentang pengawasan, hanya mengenai bahwa IMF harus mengabaikan Pasal IV mengenai konsultasi dengan negara OECD (untuk menghindari biaya yang berlipat ganda atas usaha yang dilakukan) dan harus menerbitkan secara langsung seluruh laporan konsultasi Pasal IV untuk negara lain (hal. 43-44). Laporan tersebut juga melihat fungsi utama IMF sebagai pihak yang mengumpulkan dan mempublikasikan langsung dari dari data tersebut, disertai pandangan untuk membuat partisipan pasar mendapatkan infomasi mengenai hal yang terjadi (hal. 43). IMF harus mendorong negara-negara untuk menerapkan salah satu dari kebijakan ini, nilai tukar tetap atau mengambang, sejak rezim menengah lebih memusatkan perhatian pada krisis.

Laporan ODC juga menyetujui pengumpulan data (walaupun menyatakan bahwa hal ini harus dipindahkan ke dalam badan terpisah) dan transparansi, namun menyatakan bahwa permenbangan ke arah ini tidak berarti menyelesaikan krisis yang dialami. Laporan ini melihat unik yang dimiliki IMF dalam memberikan saran pada negara-negara mengenai kebijakan makro, dengan tujuan inter alia menghindari krisis ekonomimakro, dan biasanya tidak berdasarkan pada perjanjian keuangan. Laporan tersebut juga memberikan IMF mengawasi standar yang luas, dan juga memberitahukan bahwa IMF tidak memiliki keahlian untuk hal tersebut. Laporan tersebut menyarankan agar pembahasan mengenai Laporan Pasal IV dipindahkan dari Dewan Eksekutif ke dalam sub divisi dewan-dewan yang terdiri dari direktur eksekutif (DE) mulai dari daerah tertentu di dunia, sehingga meringankan beban yang dimiliki Dewan Eksekutif, namun dengan tetap dengan laporan yang diberikan secara teratur dari sub divisi dewan tersebut kepada Dewan. Laporan ini memperingatkan tentang antusiasme untuk model dua sudut nilai tukar (pemberitahuan bahwa setiap negara harus memiliki dewan mata uang atau nilai tukar mengambang, tapi tidak dua-duanya).
Sekretaris Summer juga menyetujui agar peran IMF dalam mengumpulkan dan menyebarkan informasi kepada investor dan pasar. Negara-negara harus didorong untuk menjalankan Standar Penyebaran Data Khusu dan berbagai kode internasional untuk kebijakan yang baik yang sedang dikembangkan, dan tugas IMF dari pemenuhan mereka untuk standar tersebut disebarkan ke masyarakat. Pengawasan harus menutup kerentanan keuangan dan juga fundamental makro, dan harus dapat dikenali bahwa kerentanan ini adalah fungsi dari tingkat hutang luar negeri jangka pendek dan jaminan yang disetujui pemerintah yang sangat besar. IMF harus fokus pada kuatnya neraca nasional, sebagai contoh, mengembangkan ukuran yang lebih berarti untuk pemenuhan cadangan saripada rasio cadangan tradisional atau impor. IMF harus memusatkan perhatian pada “bahaya dari membuka modal jangka pendek untuk jaminan dalam negeri yang terlalu banyak,” dan harus menonjolkan risiko yang ditanggung dari penentuan nilai tukar yang tidak kuat.

Sekali lagi, tingkat dari konsensus yang ditunjukkan cukup signifikan. Terdapat antusiasme umum untuk pengumpulan data (jika tidak harus dilakukan oleh IMF), transparansi, publikasi, dan pengawasan terus menerus. Hal ini cukup mengagumkan jika kita pikirkan bahwa IMF selama ini merupakan institusi yang bersifat sangat rahasia. Beberapa sumber secara explisit menyatakan untuk memfokuskan perhatian pada kerentanan dari sistem keuangan, hutang luar negeri, berbagai hal di mana standar internasional disebarkan, dan penentuan nilai tukar, dan tidak ada yang menyatakan sebaliknya. Terdapat banyak peran membangun untuk pajak modal yang masuk dari yang diharapkan dalam hal ini sebelum krisis Asia Timur. Perselisihan yang tinggal hanyalah mengenai penentuan nilai tukar yang dianggap tidak kuat, namun semua orang menyadari bahwa masalah ketahanan tersebut merupakan masalah yang penting.

Pinjaman
Laporan Jenewa menyiratkan skeptisme mengenai proposal “memasukkan beberapa bentuk ‘prakualifikasi’ untuk bantuan keuangan dari IMF” (hal. 44).² Laporan tersebut melihat permohonan untuk prakualifikasi terdapat dalam rsolusi dari masalah moral hazard, karena pemerintah tidak dapat lagi diharapkan untuk membantu jika peringatan untuk sikap yang tidak baik tidak diindahkan. Namun laporan tersebut mempertanyakan apakah moral hazard pemerintah merupakan masalah riil ( pemerintah sudah cukup menderita ketika mereka menenggelamkan negara pada saat mereka mengurangi insentif untuk mencoba bermain dengan resiko), dan juga mengatakan bahwa kriteria untuk prakualifikasi dapat menjadi perselisihan dan kebijakan dapat menjadi tidak konsisten dalam waktu (ancaman untuk tidak memberikan bantuan dari negara-negara yang tidak memenuhi prakualifikasi tidak kredibel). Laproan tersebut juga menyatakan bahwa Contingent Credit Line (CCL) yang dibuat IMF di bulan April 1999 mengalami kemunduran yang sama, ditambah dengan bahaya bahwa negara yang mengalami penurunan kualifikasi sebelumnya memenuhi kualifikasi dapat mempercepat timbulnya krisis. Perlu dicatat bahwa tidak ada satu negarapun selama ini yang terbujuk untuk menerapkan CCL (yang mana tetap bertahan sampai sekarang).
Laporan Jenewa juga menyatakan bahwa fasilitas IMF telah berkembang biak secara berlebihan dan perlu dibatasi dilihat dari pandangan untuk membuat pinjaman darurat IMF lebih transparan, sederhana dan efektif (hal. 48). Laporan tersebut menyetujui adanya Supplemental Reserve Facility atau Fasilitas Cadangan Tambahan (SRF, yang dapat meminjamkan dalam pengecualian jumlah yang besar pada suku bunga penalti dan pertama diluncurkan untuk Korea Selatan) sebagai suatu langkah menuju arah yang benar (hal. 53). Laporan tersebut juga menyatakan bahwa krisis modal yang sekaran ini mendominasi adalah pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya likuiditas yang dimiliki daripada disebabkan oleh dasar (fundamental) yang tidak baik, dan karena itulah diperlukan pembiayaan sementara dengan pengeluaran dibayarkan dimuka (meskipun dpertanyakan apakah bantuan yang diperlukan harus selalu berjumlah besar). Bantuan IMF akan perlu untuk diberikan bersama salah satu dari “pembiayaan bersama dengan sektor swasta untuk perpanjangan waktu dan reschedulling” atau restrukturisasi kewajiban dari hutang eksternal dengan tujuan untuk mempertahankan besarnya paket keuangan yang beralasan. Pengalaman Koerea Selatan di tahun 1997 menunjukkan bahwa pemberhentian dapat merupakan instrumen yang berguna untuk membantu sektor swasta, namun pengalaman Meksiko di tahun 1982 harus juga diperhatikan sebagai peringatan bahwa pemberhentian bukan merupakan obat yang mujarab.

CFR Laporan mengusulkan untuk menarik perbedaan yang tajam antara “krisis negara” dan “krisis yang saling berkaitan.” Pembiayaan untuk hal yang pertama dapat dibatasi hingga limit akses normal (100 persen dari kuota per tahun dan 300% secara kumulatif), dan dapat dibiayai dari sumber dana IMF yang ada. Krisis yang saling berkaitan dapat dibiayai dari General Agreement to Borrow atau Perjanjian Umum untuk Pinjaman (GAB) dan New Agreement to Borrow atau Perjanjian Baru untuk Pinjaman (NAB) atau dari Contagion Facility yang baru yang dapat menggantikan CCL dan SRF. Contagion Facility dapat digunakan untuk akibat dari pengaruh buruk di mana penurunan pembayaran mencerminkan pembangunan sebagian besar di luar kekuasaan mereka, dan tidak memerlukan program bantuan IMF (hal. 110). Hal tersebut dapat dibiayai oleh Special Drawing Rights (SDR) yang disetorkan satu kali di mana semua anggota IMF dapat menyumbangkan SDR mereka yang baru disetor ke dalam Contagion Facility. Laporan ini juga menyatakan bahwa dalam kasus yang sangat khusus, dimana tampilan hutang sangat rapuh, IMF dapat mewajibkan debitur untuk menjalankan “itikad baik” negosiasi restrukturisasi hutang dengan para kreditor sebagai syarat pemberian bantuan (hal. 102). Hal ini dapat difasilitasi dengan pernyataan pemberhentian sementara yang dilakukan oleh debitor. Suku bunga pinjaman dari IMF dapat lebih rendah untuk negara-negara yang melakukan sejumlah usaha untuk mencegah krisis, dengan mengikuti kode-kode-kode internasional yang dikembangkan, menjalankan kebijakan makro yang baik, mempertahankan penentuan mata uang yang aktif dan profil hutang yang hati-hati, dan membangun sumber kontijen dari bantuan likuiditas (hal.94).

Laporan Ahluwalia setuju mengenai IMF yang bertindak sebagai lender of last resort untuk merespon krisis account modal, namun khawatir mengenai bagaimana pinjaman tersebut dibiayai, dan juga menyarankan mengambil jalan dengan menempatkan SDR khusus (hal. 14) dan menetapkan kuota yang lebih besar. Untuk persyaratan pinjaman semacam ini, disetujui adanya prakualifikasi namun ditekankan pada masalah bahwa kriteria yang dinilai harus cukup agar krisis tidak muncul lagi (hal. 16). Laporan ini juga menyarankan suatu penyelesaian yang disetujui bersama dimana prakualifikasi akan membuat suatu negara berhak untuk bagian pertama pinjaman, namun penarikan selanjutnya mewajibkan adanya persyaratan. Patut dicatat bahaya penarikan pertama sebelum krisis dapat mempercepat hilangnya kepercayaan masyarakat yang dapat mendorong timbulnya krisis di mana penyelesaian ini dibuat untuk menghindari krisis tersebut.

Laporan IFIAC menyatakan tanggung jawab IMF yang pertama adalah “bertindak seakan-akan sebagai lender of last resort untuk melancarkan masalah ekonomi” (hal. 42). Hal pertama yang harus diperhatikan adalah hal tersebut merupakan jendela pinjaman yang dibahas laporan ini: IMF terlihat menghalangi pinjaman tidak hanya pada negara-negara industri, namun juga negara-negara berkembang yang tidak termasuk dalam istilah “ekonomi yang berkembang.” Memang, IMF meminta secara khusus untuk menutup PRGF, yang saat ini merupakan instrumen utama untuk pinjaman kepada negara-negara tersebut (hal. 43), dan menyampingkan pinjaman untuk keadaan darurat non finansial, seperti bantuan untuk kelaparan (hal. 47). Laporan tersebut kemudian menyebutkan “kecuali untuk keadaan yang tidak lazim, dimana krisis merupakan [demikian] ancaman terhadap ekonomi, pinjaman mungkin hanya diberikan untuk negara-negara yang mengalami krisis [demikian] dengan prasyarat yang menimbulkan adanya keamanan untuk keadaan keuangan” (hal. 43). Prasyarat akan menggantikan persyaratan yang ada. Prasyarat yang diajukan (hal. 44-45) adalah:
kebebasan untuk memasuki pasar dan melakukan kegiatan usaha untuk institusi keuangan asing;
bank-bank komersial yang memiliki modal cukup, terutama untuk bagian modal dalam bentuk hutang subodinasi yang tidak dijaminkan;

publikasi teratur dan tepat waktu untuk hutang yang belum terlunasi dan hutang jaminan serta kewajiban yang tidak dicatat di dalam neraca;
“persyaratan fiskal yang baik,” sifat yang mana tidak dijelaskan secara mendetail.
Negara-negara yang ingin meminjam sebelum mereka dapat memenuhi syarat-syarat ini berhak untuk meminjam pada “suku bunga super penalti” (semua pinjaman akan dikenakan suku bunga penalti), dan negara-negara yang memilih untuk tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak dapat diberikan pinjaman (hal. 46). Pinjaman ini akan berupa jangka pendek (contoh: maksimal 120 hari) dan hanya bisa diperpanjang untuk satu kali saja. Laporan tersebut juga melanjutkan pembahasan mengenai jangka waktu yang dapat dipertimbangkan untuk memastikan prioritas klaim IMF terhadap seluruh jumlah klaim yang ada, dengan analogi persyaratan jaminan untuk pinjaman usaha terakhir masih berdasarkan ketentuan lama, namun dalam pandangan saya hal ini hanya meributkan hal-hal yang bukan menjadi masalah sehingga saya tidak ingin membuang waktu saya untuk masalah ini.

Mungkin kritik yang paling penting yang disuarakan oleh pihak minoritas yang tidak menandatangani Laporan IFIAC adalah mengenai batasan yang diusulkan untuk pinjaman IMF. Mereka menanyakan apakah mungkin untuk memberklakukan persyaratan prakualifikasi fiskal yang akan melepaskan kebutuhan untuk adanya persyaratan, dan juga khawatir bahwa pendekatan prakualifikasi dapat menghambat pinjaman untuk negara yang sangat membutuhkannya (hal. 121-22). Mereka menyarankan agar menerima usulan CFR untuk memberikan pinjaman pada negara yang telah menerapkan Prinsip Pokok Basel (Basel Core Principles) untuk menguatkan sistem perbankan dalam negeri mereka (hal. 123-24).³

Laporan ODC juga menilai peran pinjaman IMF yang diberikan untuk krisis manajemen, namun laporan ini menyatakan secara eksplisit bahwa semua negara harus dapat meminjam pada IMF setiap saat mereka mengalami krisis ekonomimakro (hal. 6). Lebih jauh lagi untuk melihat tujuan dari mengurangi kemampuan utama IMF, di luar dari masalah struktural, laporan ini mengusulkan untuk menghapuskan Fasilitas Dana Perpanjangan (Extended Fund Facility) dan memindahkannya ke PRGF (dengan demikian juga untuk tanggung jawab terhadap program Hutang Negara-negara Miskin) dari IMF ke Bank Dunia. IMF harus menyarankan Bank Dunia bahwa pemberian pinjaman PGRF mewajibkan syarat makro, meskipun tidak menggunakan hak veto. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa pinjaman untuk krisis harus diberikan dengan menggunakan perjanjian normal yang berlaku, yang harus dapat digunakan oleh setiap anggota, dengan memberikan subsidi untuk suku bunga jika yang meminjam adalah negara anggota dengan pendapatan rendah. Persyaratan harus kembali dilihat untuk memfokuskan pada kebijakan dasar makro, tanpa penambahan sejumlah syarat struktural lainnya seperti program Asia Timur yang dibuat-buat dan untuk kejadian yang dibuktikan hampir sama sekali tidak relevan untuk membiayai pemulihan negara dari krisis. Laporan tersebut mengusulkan usaha untuk membuat asesmen ex anti untuk pengaruh program IMF pada kaum miskin, dengan pendapat untuk mecoba mengurangi pengaruh kebalikannya. Laporan ini menyiratkan keraguannya terhadap CCL namun juga mengusulkan untuk tetap mengadakan Compensantory Financing Facility.
Hal yang sama dari enam sumber ini adalah peran sentral pembiayaan IMF untuk mengatasi krisis.
Sekretaris Summers juga menyarankan agar IMF memusatkan perhatiannya mengenai pembiayaan yang diberikannya pada situasi yang sifatnya mendesak. Pembiayaan tersebut haruslah, paling tidak, mengenyampingkan; tempat penghentian, bukan alternatif, untuk pembiayaan swasta. Pinjaman yang berjangka waktu lebih panjang akan dihapus setahap demi setahap dan instrumen yang pokok akan menjadi CCL, jangka pendek, perjanjian untuk negara-negara tanpa masalah yang saling berkaitan, dan SRF, untuk krisis account modal yang saling berkaitan. Suku bunga penalti untuk pinjaman SRF merupakan hal yang akan ditetapkan kemudian, meskipun CCL mungkin memiliki suku bunga yang lebih rendah untuk mendorong negara-negara agar memenuhi persyaratan dan mengajukan permohonan untuk meminjam. Persyaratan harus memenuhi keadaan negara secara spesifik, namun tidak mencampuri hal-hal diluar pemulihan perkembangan dan stabilitas. Meskipun demikian, “stabilitas sistem perbankan, masalah mengenai kerjasama sosial, dan kemampuan untuk menegakkan perjanjian berdasarkan kontrak” dapat pula menjadi hal yang relevan terhadap persyaratan di atas (hal. 6). Beliau juga mendesak agar sektor yang berkuasa menolong kreditor untuk mengetahui bunga kolektif mereka dalam memelihara keterbukaan, meskipun ketika bunga individual mereka berada dalam dana penarikan, namun hal tersebut sewaktu-waktu diperlukan untuk mecari pertolongan restrukturisasi hutang, dan untuk kasus-kasus tertentu IMF harus siap untuk memberikan pinjaman yang akan digunakan untuk melunasi tunggakan.

Dalam pernyataannya mengenai negara-negara yang sangat miskin (hal.8), Summers memuji kemajuan yang dibuat dalam perkembangan HIPC sebagai “secara fundamental sebuah kerangka untuk usaha masyarakat internasional untuk mengentaskan kemiskinan, sesuatu yang memberikan petunjuk untuk Bank Dunia dan peran yang lebih ketat lagi terpusat untuk IMF.” Beliau tidak menyiratkan keinginan untuk memindahkan PRGF.

Hal yang sama dari enam sumber ini adalah peran sentral pinjaman IMF dalam menyelesaikan krisis. Terdapat sejumlah ide lain yang telah diusulkan secara terbuka tanpa mendapatkan dukungan suara bulat: beberapa bentuk dari prakualifikasi (meskipun dengan perbedaan strategis seperti apakah bila tidak memenuhi prakualifikasi akan membuat suatu negara tidak dapat meminjam atau hanya menajamkan istilah saja); memindahkan PGRF dari IMF ke Bank Dunia; dan menemani pinjaman untuk krisis dari IMF dengan beberapa bentuk pemberhentian pembayaran, paling tidak pada keadaan tertentu.

Pemerintah
Laporan Jenewa menyatakan bahwa IMF membutuhkan transparansi yang lebih lebar lagi dan pertanggungjawaban. Keputusan harus lebih banyak melalui pengambilan suara daripada melalui konsensus, dan laporan rapat serta pengambilan suara harus diterbitkan kepada umum. Program-program yang dijalankan harus dievaluasi oleh staff dan panelis dari luar IMF, dan hasilnya juga harus diberitahukan kepada masyarakat. Dari semua itu, Dewan Eksekutif harus bersifat independen seperti halnya banyak dewandari bank-bank sentral yang juga bersifat independen sekarang ini: mereka harus ditunjuk untuk bertugas selama jangka waktu yang ditentukan dan tidak boleh menerima instruksi dari pemerintah yang menunjuk mereka, dan Dewan harus diberikan mandat eksplisit seperti memajukan stabilitas ekonomi dan keuangan, dan Dewan harus secara teratur memberikan laporan pada International Monetary and Financial Committee atau Komisi Moneter dan Finansial Internasional (IMFC, dulu dikenal dengan nama Interim Committee atau Komisi Interim). Suatu negara yang sedang dibicarakan permasalahannya harus mengirimkan perwakilannya untuk duduk bersama dengan Dewan. Untuk meningkatkan kemandiriannya dari pemerintahan suatu negara, IMF harus meminjam dari pasar daripada mendapatkan sumber dari pemerintahan negara anggota.

Laporan CFR juga mendesak adanya transparansi yang lebih luas, namun governance IMF tidak menonjol di antara perhatiannya. Seperti juga yang dikatakan sedikit dalam Laporan Ahluwalia mengenai topik ini, kecuali untuk menolak terhadap merger IMF dan Bank Dunia, dan menyarankan pendirian komisi diatas tingkat menteri untuk mengawasi kedua badan tersebut. Laporan IFIAC menyarankan IMF untuk dibuat menjadi institusi yang lebih kecil (hal. 42), dan lebih terbuka lagi dalam hal akuntansi yang mereka buat (hal. 50-51).

Laporan ODC menyarankan penyusuann kembali untuk kekuatan pengambilan suara di IMF sehingga mencerminkan besarnya kekuatan ekonomi saat ini, di mana semua orang mengetahui hal tersebut akan melibatkan perkembangan perwakilan Asia dan kemunduran negara Eropa. Laporan tersebut juga menyarankan untuk mengurangi mayoritas super yang dibutuhkan untuk keputusan penting tertentu sehingga mengurangi hak veto yang dimiliki Amerika Serikat. Laporan tersebut juga mengusulkan suatu proses yang lebih netral dan transparan dalam memilih direktur manajer. Disarankan bahwa hubungan antara negara-negara anggota dan IMF harus diperluas, sehingga IMF dapat berhubungan dengan kantor perdana menteri atau departemen perencanaan negara (atau, untuk negara berkembang, departemen bantuan) dan tidak hanya kepada menteri keuangan atau bank sentral. Laporan tersebut mendesak agar diadakan unit evaluasi eksternal untuk membuat laporan kepada IMFC. (IMF mengumumkan pedirian kantor evaluasi permanen beberapa hari sebelum laporan ini diterbitkan, namun kantor tersebut membuat laporan pada Dewan Eksekutif bukan kepada IMFC). Laporan tersebut juga mendesak agar pengumpulan data dan penyebarannya harus dilakukan oleh badan statistik yang terpisah.

Begitu kebijakan makro secara beralasan dianggap cukup, penting untuk modal sumber daya manusia yang terbatas di dalam Departemen Keuangan dari negara miskin untuk memusatkan perhatiannya pada topik lainnya, daripada meributkan mengenai target inflasi atau nilai tukar mengambang bebas atau menciptakan pasar treasury bill atau model makro terbaru lainnya.
Sulit untuk mendeteksi kesamaan yang ada dalam proposal ini, di luar keinginan umum untuk melanjutkan kemajuan dalam hal transparansi dan keterbukaan yang lebih luas, meskipun hal itu dapat dimungkinkan untuk menemukan keinginan yang tersebar luas untuk mereformasi proses pemilihan direktur manajer setelah kegagalan yang dialami baru-baru ini. Mungkin hal ini masih terlalu dini untuk mencoba mereformasi governance IMF sebelum kita memutuskan apa yang kita inginkan untuk IMF lakukan.⁴

Sebuah agenda untuk mereformasi IMF
Pada tahap ini mari kita diskusikan bagaimana kira-kira agenda untuk reformasi IMF. Saya tidak akan menyinggung masalah governance – kita perlu memutuskan dulu apa yang IMF harus lakukan.

Saya setuju sekali dengan pandangan konsensus mengenai cakupan IMF yang kita catat pada akhir bagian tersebut. Khususnya, saya meneruskan pandangan bahwa kegagalan untuk menolak misi yang berjalan dengan lambat yang dikenakan padanya oleh G-7, dan lebih khusus lagi oleh persyaratan yang dicantumkan oleh badan Kongres AS pada penambahan kuota IMF yang terbaru, mengancam untuk mengurangi efektifitas IMF. IMF harus benar-benar konsentrasi kembali pada kemampuan intinya dan kelihatannya terdapat ketidaksepakatan mengenai hal tersebut (setidaknya di antara mereka yang tidak membubarkan IMF karena dianggap tidak kompeten). Sebagai contoh, komunike G-7 pada tanggal 15 April 2000 menyatakan bahwal “Pencegahan krisis dan penanggulangannya harus merupakan inti dari tugas IMF.” Dan semua anggota nampak setuju bahwa hal tersebut menyangkut melakukan pengawasan dengan pandangan untuk menghindari krisis dan memberikan bantuan untuk mengatasi krisis bila akhirnya benar-benar terjadi.

Yang menurut saya agak di luar kebiasaan adalah badan resmi dunia, termasuk Sekretaris Summers dan keputusan yang dicantumkan dalam rapat musim semi IMFC, menganggap prinsip ini konsisten dengan mempertahankan PGRF (demikian juga HIPC, yang persyaratannya berdasarkan PGRF) dalam IMF. Hal ini berlawanan dengan usulan dari mayoritas IFIAC untuk menutup PRGF,⁵yang mana akan mengakibatkan untuk mengurangi sumber dana yang akan diberikan pada negara-negara miskin. Namun kedua laporan ini, Ahluwalia dan ODC menyarankan sebuah alternatif: tidak menutupnya, namun lebih condong untuk memindahkannya ke Bank Dunia. Argumen untuk hal ini adalah PGRF tidak berkaitan dengan pinjaman krisis, bidang di mana hal tersebut merupakan kemampuan pokok IMF, namun untuk pengentasan kemiskinan dan pembangunan. Tidak seorangpun yang merasa ragu bahwa pembangunan, dan pengentasan kemiskinan yang dialirkan melalui bantuan ini, berdasarkan penerapan dari kebijakan makro, dan hal ini terdapat dalam kemampuan pokok IMF. Namun kebijakan makro, sebagaimana disebutkan dalam kerangka pembangunan menyeluruh Bank Dunia (Bank’s Comprehensive Developing Framework), hanya merupakan satu dari sejumlah bidang yang penting untuk dicapai secara kasar jika ekonomi berkembang ke arah potensial. Karena Bank Dunia memiliki kemampuan dalam bidang-bidang tersebut, merupakan angan-angan untuk menempatkan PGRF pada IMF daripada di Bank Dunia. Hal ini merupakan anomali yang hanya dapat dijelaskan oleh sejarah.⁶

Mungkin hal tersebut merupakan angan-angan bagi beberapa dari kita, namun penempatan PGRF pada IMF dipertahankan oleh Stanley Fischer dalam kapasitasnya selaku direktur manajer. Sebagaimana dikutip dari Financial Times tanggal 14 April 2000, beliau menyatakan, sebagai jawaban dari pertanyaan mengenai usulan untuk memindahkan PGRF yang terdapat di dalam laporan ODC:

Tak ada alasan untuk negara-negara miskin tidak dapat memanfaatkan keuntungan dari keahlian IMF mengenai kebijakan ekonomi makro. Perdebatan yang saya dapatkan adalah seseorang yang berpendapat seakan-akan terdapat perbedaan mengenai ekonomi makro untuk negara-negara miskin dan kaya....... Stabilitas [dalam hal] inflasi dan ekonomi adalah hal yang buruk bagi setiap orang.
Hal ini merupakan salah pengertian mengenai laporan ODC, yang mana secara eksplisit menyatakan (hal. 5) bahwa IMF memiliki “peran yang unik dalam sistem internasional, termasuk untuk negara-negara miskin: untuk memberikan saran pada negara-negara mengenai bagaimana menghindari krisis ekonomi makro dan mengembalikan stabilitas dalam keadaan krisis tersebut.” Laporan ODC juga menyatakan secara jelas: “Stabilitas merupakan kondisi yang penting dalam pembangunan.” Sebenarnya perdebatan tersebut adalah suatu hal untuk menghilangkan perlakuan yang berbeda antara negara miskin dan kaya dalam berbagai hal kecuali satu: suku bunga di mana mereka berhak untuk melakukan pinjaman saat mengalami krisis ekonomi makro. IMF dapat tetap menggunakan peran yang sama untuk kedua jenis negara tersebut, katakanlah pengawasan yang dilakukan untuk menghindari krisis dan pinjaman jangka pendek ketika usaha untuk menghindari krisis gagal. Mungkin merupakan pendapat yang baik untuk mempertahankan PGRF di dalam IMF, namun, jika benar demikian, Fisher tidak menjelaskan mengenai hal tersebut.⁷ Tentu saja, beliau mungkin dapat membahayakan reputasi beliau sebagai seorang birokrat ternama IMF jika beliau menyetujui alasan logis dari mengalihkan bagian yang penting dari tanggung jawab organisasinya kepada institusi saudaranya. Hampir tidak ada yang mengharapkan beliau untuk mempelopori reformasi dalam hal ini, namun bukan berarti perubahan tersebut tidak diinginkan.

Bahaya dari memindahkan fasilitas IMF adalah tradisi yang dimilikinya akan mencegah IMF untuk memperlakukan kebijakan makro hanya sekedar suatu hal dari sejumlah bidang yang perlu penanganan segera. Berdasarkan pengalaman terdahulu, diharapkan bahwa IMF akan aselalu membuat stabilitas makro primus inter pares, baik perlu atau tidak. Meskipun demikian, ketika negara-negara mengalami krisis, stabilitas makro tidak harus ditindaklanjuti berdasarkan urutan kepentingan. Ketika ekonomi makro telah dianggap cukup, penting agar sumber daya manusia yang terbatas dalam Departement Keuangan negara-negara yang miskin untuk memusatkan perhatiannya pada hal-hal lain, daripada meributkan mengenai target inflasi atau nilai tukar mengambang bebas atau menciptakan pasar treasury bill atau hal lainnya mengenai model makro yang terbaru. Jika IMF bertugas, tidak seorangpun dapat membatalkan perhatian yang berlebihan pada penyempurnaan makro untuk mendapatkan hak prioritas pengeluaran publik dan mereformasi corporate governance dan membangun sistem pendidikan..... Jika IMF memiliki kuasa, IMF akan masih memiliki tugas untuk memerikasa kebijakan makro dan akan dapat mempelajarinya bila terdapat masalah, dan jika Bank Dunia menyetujui bahwa stabilitas makro berada dalam bahaya dan merupakan tugas IMF untuk mengeluarkan biaya hingga kebijakan tersebut diperbaiki. Hal ini akan memastikan bahwa IMF tidak dapat diabaikan dan negara yang bersangkutan tidak dapat menolak saran yang diberikan IMF. Namun karena badan lain harus menyetujui bahwa stabilitas makro benar-benar beresiko, negara tersebut akan diberikan perlindungan terhadap tekanan yang berlebihan mengenai stabilitas makro di atas prioritas lainnya.

Sangatlah bijaksana untuk menghilangkan garis kredit kontijen, dan menjalankan beberapa bentuk dari rancangan tersebut pada fasilitas lain yang dirancang sebagai tindakan IMF menangani krisis.
perdebatan lain untuk memindahkan PGRF adalah mengenai pertimbangan waktu dari program yang dimiliki IMF. Kita semua mengetahui bahwa pengentasan kemiskinan memerlukan waktu lebih dari satu dekade dan bukannya tiga tahun seperti yang dibutuhkan untuk program PGRF, berarti harus diperhatikan kelanjutan dari program tersebut dan keterlibatan jangka panjang IMF untuk perkembangan pembiayaan berdasarkan perjanjian pada saat ini. Di masa yang lalu selalu diasumsikan bahwa keterlibatan IMF harus bersifat sewaktu-waktu dan sementara dan bukan merupakan hal yang berkelanjutan, dan mungkin terdapat keraguan apakah ketidakjelasan antara dua peranan tersebut tidak akan mempengaruhi kemampuan IMF untuk bertindak secara efektif sewaktu terjadi krisis.
Pendukung dari status quo cenderung untuk menyatakan bahwa IMF merupakan alat yang lebih efektif untuk menangani persyaratan dibandingkan dengan Bank Dunia. Sebagai seseorang yang bekerja untuk kedua organisasi ini, saya dapat memastikan bahwa mereka mempunyai pandangan yang benar. Tidak diragukan lagi bahwa organisasi hirarki IMF lebih efektif dalam mengambil tindakan yang tepat dan benar daripada Bank Dunia yang lebih kendor dan memiliki banyak ide seperti karakteristik yang dimiliki organisasi ini.

Meskipun demikian, ada dua argumen yang berlawanan dengan hal di atas yang perlu diperhatikan. Satu adalah cara birokrasi berkembang merupkana bagian dari konsekuensi dari apa yang diminta. Karena Bank Dunia di masa terdahulu tidak memiliki tanggung jawab untuk mengatur program seperti jenis PGRF, tidaklah mengherankan bahwa badan tersebut tidak memiliki kapasitas yang memenuhi untuk melakukan hal ini. Pertanyaannya adalah pakah terdapat alasan yang cukup meyakinkan jikalau Bank tidak cukup mampu untuk mengembangkan kapasitas seperti itu diberikan tanggung jawab untuk mengelola PGRF.

Argumen lainnya adalah PGRF tidaklah dimaksudkan untuk menjiplak pola dari persyaratan yang lama. Sebaliknya, pinjaman berdasarkan program ini harus mengikuti panduan dari Poverty Reduction Strategy Paper atau Ketentuan Tindakan Pengurangan Kemiskinan (PRSP), yang mana disiapkan oleh pemerintah yang melakukan pinjaman berdasarkan konsultasi dengan masyarakat sipil dan sektor swasta (seperti halnya IMF dan Bank Dunia). Maksud dan tujuannya adalah untuk memastikan bahwa program tersebut berada dalam kepemilikan lokal, sesuatu yang disimpulkan secara konklusif berdasarkan riset terbaru bahwa hal tersebut merupakan kunci dari reformasi yang akan dilakukan. Bahaya yang ada adalah PRSP akan terbukti merupakan penutup belaka, dimana IMF mendikte sebagaimana badan tersebut sering mendikte persyaratan di waktu yang lalu (yang mana juga seharusnya merupakan program pinjaman pemerintah sendiri). Beberapa staf IMF berpandangan bahwa kepemilikan dan persyaratan merupakan hal yang berlawanan – persyaratan harus diwajibkan, dalam pandangan mereka, suatu egara harus melakukan hal-hal yang tidak mereka inginkan. Logika yand didapat dari hal tersebut adalah persyaratan digunakan sebagai alat untuk mengukur akses murahnya kredit dari IMF; membuat syarat yang diambil dari kebijakan laku yang baik, dan IMF akan dengan segera dibanjiri permohonan untuk pinjaman. Dimungkinkan pula untuk merasa ragu mengenai kemampuan organisasi ini di mana sikap yang ada tersebut mengakibatkan loncatan intelektual pada pinjaman berdasarkan basis program yang mengijinkan kepemilikan. Bank Dunia, sebalikinya, telah bekerja cukup keras pada tahun-tahun belakangan ini untuk memperkuat kepemilikan dalam negeri, dan dengan demikian akan lebih baik menempatkan program awal di mana kepemilikan merupakan kunci dari program ini.

Perubahan lain yang diusulkan laporan ODC menyangkut pengumpulan dan penyebaran statistik (hal.12). Laporan ini mendesak IMF dan Bank Dunia harus memisahkan kegiatan statistik yang dibuatnya dan hal ini harus diserahkan pada badan terpisah dan independen yag escara eksklusif memiliki kegiatan usaha melaksanakan pengumpulan dan menerbitkan data ekonomi. Saya membagi pandagan ini bahwa hal ini akan merupakan perubahan yang baik, di mana tidak akan menghalangi bahaya potensial bahwa konflik kepentingan dapat merusak data, dan juga keahlian untuk memusatkan statistik.
Bagian mengenai pengawasan di atas juga dicatat sebagai ukuran konsensus yang penting mengenai peranan IMF dalam hal pengawasan, terutama mengenai keinginan terhadap keterbukaan atau transparansi. Sebenarnya IMF telah berada dalam jalur ke arah tersebut selama ini. Saya mengingat kembali kebanggaan saya sewaktu melakukan hal yang subversif seperti menerbitkan surat Letter of Inten di Williamson(1983): hari ini IMF secara rutin menerbitkan teks dari Letter of Inten dan lebih jauh lagi, terdapat pada situs web. Saya meneruskan konsensus yang tersebar luas bahwaIMF dapat memusatkan perhatian pada penyetelan kerentanan dari kelemahan sistem finansial, level dan waktu jatuh tempo dari hutang luar negeri, dan perkembangan dalam menjlankan standar internasional yang baik yang sekarang ini sedang dikembangkan. Saya juga meneruskan pandangan CFR bahwa IMF harus secara aktif mendorong negara yang potensial terhadap kerentanan untuk menjalankan padak masuk modal yang baik.

Persyaratan untuk penerbitan statistik secara teratur dan tepat waktu mengenai jatuh tempo dari utang luar negeri.......juga masuk akal dan tidak dapat dibantah. Pertanyaan yg muncul kemudian adalah apakah data mengenai hutang luarnegeri tersebut akan cukup.
Ada satu bagian yang tertinggal dimana saya tidak setuju dengan kebijaksanaan konvensional yang ada sekarang (seperti juga pendapat Laporan ODC). Hal ini menyangkut pertanyaan seperti apakan semua aturan nilai tukar intermediate harus ditahan dengan adanya pengawasan yang dilakukan IMF (untuk pasar yang berkembang dan negara industri, jika tidak selalu untuk negara berpendapatan rendah di mana mobilitas modal masih rendah) untuk salah satu dari dua “putusan akhir,” dewan mata uang atau nilai tukar mengambang. Saya telah mengulas hal ini secara panjang lebar di tempat lain (Williamson 2000), namun ada baiknya untuk saya jelaskan bahwa saya tidak mengingkari bahwa aturan intermediate lebih memungkinkan untuk terjadinya krisis daripada keputusan akhir yang lainnya. Intinya adalah aturan-aturan tersebut juga menawarkan keuntungan yang tidak dimiliki oleh keputusan akhir lainnya, seperti, kemungkinan untuk menahan penjajaran yang yang salah pada nilai tukar tetap atau mengambang. Jika diperkirakan bahwa penjajaran yang salah pada nilai tukar mengancam perkembangan yang cepat dan yang sedang dipelihara, hal ini merupakan hal yang serius, dan disarankan untuk menahan dorongan keinginan untuk melakukan pengawasan yang terfokus pada penghindaran krisis. Penting untuk mendorong negara-negara memanfaatkan benar-benar semua potensi yang ada pada mereka.

Meskipun demikian, perbedaan utama mengenai masa depan IMF adalah mengenai peranannya sebagai pemberi pinjaman daripada dalam hal pengawasan. Semua menyetujui bahwa IMF harus memiliki peran sentral dalam setiap peminjaman yang dilakukan untuk krisis makro, namun hal tersebut adalah mengenai isi dari perjanjian yang dilakukan. Masalah-masalah yang diperdebatkan adalah:
cakupan fasilitas IMF yang harus dipinjamkan oleh IMF;
peranan, jika ada, dari prakualifikasi operasi pinjaman yang diberikan IMF;
peranan, jika ada, dari pembayaran yang dihentikan yang diberikan bersaman dengan pinjaman IMF untuk krisis;
syarat yang diberlakukan dalam pinjaman yang diberikan IMF.
Cakupan fasilitas IMF. Pada saat ini IMF dapat memberikan pinjaman melalui enam macam fasilitas: 1) cadangan yang ada, 2) suku bunga tinggi dari Supplementary Reserve Facility (SRF) yang diperkenalkan di tahun 1998, 3) Contingensy Credit Line (CCL) yang diumumkan pada tahun 1998 namun sampai sekarang belum diterapkan, 4) Fasilitas dana perpanjangan atau Extended Fund Facility (EFF) yang diperkenalkan di tahun 1975 dengan tujuan untuk agar IMF dapat memberikan pinjaman dengan jangka waktu yang diperpanjang kepada negara-negara berkembang yang mengalami masalah permbayaran dengan pinjaman sebelumnya, 5) PGRF di mana IMF memberikan pinjaman berbunga rendah kepada negara anggota dengan pendapatan kecil, dan 6) Compensatory and Contigency Financing Facility (CCFF) yang ada sejak tahun 1960-an dan memberikan pinjaman dengan syarat ringan kepada negara-negara yang mengalami penurunan dalam jumlah yang besar namun sifatnya sementara dalam ekspor, atau kenaikan biaya impor, atau keanikan biaya bunga. Hal ini telah menggambarkan rasionalisasi yang signifikan terhadap penurunan situasi sebelum pertemuan musim semi tahun 2000 di IMFC, yang mana mengurangi Currency Stabilization Fund, Buffer Stock Financing Facility, dan menyetujui pengurangan hutang bank komersial (contoh, Brady Plan). Saya telah menyatakan bahwa PRGF seharusnya dialihkan kepada Bank Dunia. Juga diperlukan untuk memastkan apakah pelurusan program lebih lanjut juga diperlukan.
Untuk memulai akhirnya, ada kasus logis yang kuat untuk tetap menggunakan CCFF. Hal ini adalah sebuah mekanisme dimana komunitas internasional membantu negara-negara produsen primer untuk mengatasi guncangan yang besar berdasarkan keputusan mereka sendiri, tanpa mewajibkan mereka untuk membuat cadangan sumber riil mereka sebelum waktu yang diperlukan. Hal ini lebih ekonomis dalam hal kebutuhan membuat cadangan.

Kasus persuasif yang sama tidak dapat diterapkan untuk mempertahankan EFF. Ketika program ini diperkenalkan, di tahun 1970-an, banyak negara berpendapatan menegah hanya dapat membangun akses untuk pasar modal internasional. Bank Dunia tidak memiliki kapasitas untuk memberikan pinjaman untuk penyesuaian terhadap hal tersebut, semua pinjaman telah ditentukan berdasarkan proyek. Sehingga negara-negara tersebut tidak dapat mengharapkan untuk dapat meminjam dengan tujuan untuk menyesuaikan pembayaran yang mengalami gangguan dengan adanya hal tersebut, sehingga hal ini terlihat wajar untuk IMF menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam hal ini. Namun jaman telah berubah, dalam tiga hal. Pertama adalah kebanyakan negara-negara berpendapatan menengah sekarang dapat meminjam pada pasar modal internasional. Hal yang lain adalah Bank Duna setelah memindahkan pada pinjaman penyesuaian struktural, yang mana dapat mengatasi jenis kasus atau situasi yang sama. Hal yang ketiga adalah negara-negara dengan pendapatan rendah yang tidak termasuk dalam pasar modal internasional sekarang diakomodasi oleh IMF melalui PGRF, di mana hal ini masih dapat dimanfaatkan oleh mereka biarpun bila PGRF nantinya dipindahkan ke Bank Dunia. Bulgaria mungkin memiliki pendapat yang paling kuat yang menyatakan bahwa EFF masih memiliki peranan, namun terlihat jelas bahwa Bulgaria tidak dapat diakomodasi melalui pinjaman penyesuaian struktural Bank Dunia.

Tiga dari enam sumber......menyatakan penghentian pembayaran sebagai sesuatu yang dilaksanakan sebagai usaha terakhir bukan merupakan ditambahkan sebagai elemen biasa dalam manajemen krisis.
Hal ini membawa kita kepada bahasan mengenai CCL. CCL diperkenalkan dengan harapan bahwa negara-negara yang merasa mereka memiliki kemungkinan terpengaruh oleh serangan ekonomi dapat membentengi likuiditas mereka hingga pada tingkat yang dapat menahan setiap serangan spekulatif yang terjadi. Namun, sebagaimana dicatat, tidak ada satupun negara yang menerapkan CCL, dan hal tersebut tidak perlu dipertanyakan. Tidak sulit untuk menemukan penjelasan yang masuk akal. Penerapan program ini sendiri diintrepretasikan oleh pasar sebagai pengakuan bahwa negara tersebut takut akan serangan spekulatif, interpretasi yang dapt memicu serangan yang diharapkan dapat dihalangi. Meskipun bila bahaya tersebut dapat dielakkan, masih ada bahaya yang sama yang dapat memicu serangan tersebut bila IMF merasa perlu untuk mencabut hak negara tersebut untuk dapat meminjam pada IMF. Kemudian bila IMF telah memutuskan bahwa perlu untuk menghalangi hak otomatis untuk mengambil pinjaman meskipun negara tersebut telah dinyatakan berhak untuk meminta pinjaman, dan mempertimbangkan untuk memperkecil proses peninjauan yang dapat berakibat diberlakukannya persyaratan tambahan. Sehingga tidak sulit untuk memperkirakan mengapa CCL tidak berhasil hingga saat ini untuk mendapatkan kandidat negara yang akan menerapkan program ini. Sangat sulit untuk melihat kurangnya minat akan program ini bisa berubah dengan meributkan tentang insentif bunga. Kesimpulan yang dapat saya tarik adalah menghapuskan CCL merupakan hal yang tepat, dengan menggunakan sebagian dari fitur program tersebut kedalam fasilitas lain yang dirancang agar IMF dapat memberikan respon terhadap krisis yang terjadi.

Fasilitas lainnya adalah standby dan SRF. Semua setuju, bahkan mayoritas IFIAC pun setuju bahwa IMF harus dapat memberikan pinjaman dalam situasi krisis. Pertanyaan yang timbul adalah: berdasarkan syarat apa, jangka waktu yang bagaimana, serta berapa kuantitas yang dapat dipinjamkan. Di satu pihak merupakan hal yang masuk akal untuk mempertimbangkan pinjaman yang lebih besar (berdasarkan kuota) dengan suku bunga yang lebih tinggi, sangat sulit untuk mencari keuntungan yang didapat dengan memiliki jendela yang terpisah untuk pinjaman berbunga lebih tinggi. Biasanya, saya menyarankan untuk menggabungkan kedua fasilitas tersebut ke dalam satu jendela, yang bisa disebut sebagai Crisis Facility atau Fasilitas bantuan krisis, karena tujuan pinjaman tersebut adalah untuk memberikan pinjaman kepada negara-negara untuk mengatasi keadaan krisis yang terjadi.⁸
Sehingga dengan demikian IMF akan dibatasi pada dua fasilitas. CCFF akan menyediakan pinjaman dengan persyaratan ringan untuk merespon guncangan yang terjadi di luar kuasa negara, seperti penurunan nilai ekspor komoditi primer. Juga untuk guncangan-guncangan besar lainnya, termasuk bencana alam (seperti banjir yang terjadi di Bangladesh tahun 1998). Crisis Facility akan memberikan pinjaman untuk situasi yang merupakan krisis ekonomi makro.

Prakualifikasi. Saya memang menyatakan bahwa CCL tidak menarik minat peminjam berdasarkan alasan-alasan yang mendasar, namun merupakan kesalahan untuk mengabaikan analisa yang mendasari pembuatan program tersebut. Saya dapat mempertanyakan kebijakan rekomendasi mayoritas IFIAC yang menyatakan bahwa (setelah masa transisi) IMF harus memberikan pinjaman hanya kepada negara yang memenuhi prakualifikasi. Meskipun demikian, gagasan bahwa negara-negara harus dapat meminjam lebih, dan/atau lebih mudah, dan/atau lebih murah adalah satu pertimbangan yang dapat disetujui jika cocok untuk diaplikasikan pada kondisi tertentu.
Sebuah cara yang pasti untuk meringankan krisis adalah membuat kredit IMF yang disediakan dalam jangka pendek untuk mencegah peminjam swasta memperkirakan apakah negara tersebut dapat memenuhi kewajiban ketika pinjaman IMF harus dibayar kembali.
Attraction adalah hal yang sangat jelas untuk Crisis Facility. Orang ingin mendorong negara untuk mengambil tindakan yang akan memperkecil kerentanan mereka terhadap krisis, dan terlihat wajar untuk memberikan mereka akses yang terjamin bila mereka berhasil melakukan hal tersebut (atau setidaknya akses semi terjamin) kepada lender of the last resort (atau setidaknya yang bertindak seakan-akan sebagai lender of the last resort). Kunci pertanyaan yang muncul adalah, tindakan apa yang dapat masuk kedalam prakualifikasi? Laporan dari mayoritas IFIAC menyarankan empat hal:
kebebasan untuk masuk dan beroperasi untuk institusi keuangan asing;
bank-bank komersial yang memiliki modal cukup, terutama untuk modal dalam bentuk hutang subordinasi yang tidak dijamin;
publikasi teratur dan tepat waktu untuk hutang yang belum terlunasi dan hutang jaminan serta kewajiban yang tidak dicatat di dalam neraca;
“persyaratan fiskal yang baik.”
Hal yang pertama yang disebutkan di atas merupakan persoalan yang problematik. Menurut kebiasaan yang berlaku negara-negara telah diberikan kebebasan untuk memutuskan sendiri apakah mereka ingin mengijinkan bank-bank asing untuk masuk. Terdapat alasan ekonomi yang jelas mengapa negara-negara berdasarkan situasi tertentu ragu-ragu untuk mengijinkan bank-bank asing untuk masuk, seperti, hal ini dapat merusak nilai franchise dari bank-bank yang ada, dan dengan demikian mempercepat “percobaan spekulatif.” Dan juga ada bukti kuat bahwa bank-bank asing dapat diandalkan untuk membantu negara ada saat kriss dengan meningkatkan eksposure mereka: memang, bank-bank asing di Argentina membekukan exposure mereka selama krisis tequila di tahun 1995. Sehingga dengan demikian usulan ini terlihat sangat terburu-buru.

Sebaliknya, persyaratan sistem perbankan yang solvent, memiliki modal yang cukup, dan diawasi dengan baik sangat cocok untuk diterapkan. Krisis yang sangat parah terjadi bila sistem perbankan yang lemah menghalangi bank sentral untuk meningkatkan suku bunga pada saat dibutuhkan, sehingga krisis mata uang dan perbankanpun terjadi. Dan saran bahwa bagian dari modal bank harus diwajibkan untuk dibuat dalam bentuk hutang subordinasi yang tidak dijaminkan dipegang oleh pihak ketiga juga diharuskan: daya tariknya adalah kreditor dari hutang tersebut tidak memiliki kemungkinan untuk menarik keuntungan dari tindakan bank yang mengandung resiko, sehingga mereka dapat diandalkan untuk mengawasi dan memberikan hukuman terhadap segala tindakan spekulatif yang dilakukan oleh manajemen bank. Tentang bagaimana menjalankan persyaratan ini, kemungkinan yang ada adalah mengambil saran dari laporan CFR (dan mayoritas dari IFIAC) bahwa test yang dilakukan adalah apakah negara tersebut telah menjalankan Prinsip Inti Basel (Basel Core Principles). Juga dapat dipertanyakan apakah hal tersebut tidak masuk akal untuk prinsip tersebut melakukan pengawasan terhadap beberapa dari banyak kode standar lainnya yang sedang disiapkan, namun, paling tidak, akan lebih baik bila tidak memberatkan sistem dengan membuat terlalu banyak persyaratan untuk pengawasan.
Persyaratan untuk publikasi statistik yang teratur dan tepat waktu untuk hutang yang belum terlunasi (dan kewajiban yang belum terlunasi yang tidak dicatat di dalam neraca) juga merupakan hal yang benar dan tidak memberatkan. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah data mengenai hutang yang belum terlunasi tersebut akan mencukupi. Tidak ada satu negarapun di Asia Timur yang memiliki masalah yang serius dengan hutang yang belum dilunasi: masalah timbul dengan hutang sektor swasta, yang dibuat oleh bank (contoh Korea Selatan) atau sektor pengusaha (contoh Indonesia). Akumulasi data yang akurat dan tepat waktu dari hutang sektor swasta yang dikumpulkan semua lebih banyak lagi kesulitan yang timbul daripada hutang yang belum dilunasi. Hal ini terjadi bahwa IMF telah membuat standar untuk hal ini, dimana menggunakan penilaian sejauh mana data yang dianggap cukup untuk memperkirakan negara dapat menagih. Kriteria untuk negara dapat perlakuan khusus haruslah bahwa negara tersebut memberikan sumbangan kepada Fund’s Special Data Dissemination Standard.

Laporan IFIAC tidak mencoba untuk menjelaskan tentang sifat dasar dari “persyaratan fiskal yang baik” yang disarankan sebagai persyaratan prakualifikasi, mungkin karena hal ini ditambahkan pada saat terakhir sebagai respon dari keberatan pihak minoritas yang akan memaksa IMF untuk memberikan bantuan kepada negara-negara yang mengalami defisit anggaran. Tidak sulit untuk membayangkan bentuk dari persyaratan tersebut. Mungkin akan mirip seperti persyaratan fiskal Maastricht untuk bergabung dengan EMU: defisit anggaran tidak lebih dari 3% dari GDP dan rasio hutang sektor masyaratkat terhadap GDP dibawah 60% (atau memiliki tren menurun). Atau mungkin hal tersebut akan dicantumkan dalam istilah saldo primer, untuk menghindari keberatan bahwa kriteria yang dicantumkan dalam istilah defisit total dapat berlaku si’m ebagai penghindaran yang tidak tepat dengan tujuan untuk memperketat kebijakan moneter (walupun hal ini menumbulkan problem bahwa saldo primer memiliki tingkatan yang berbeda-beda di setiap negara berdasarkan tingkat hutang sektor masyarakat yang mereka miliki). Atau mungkin hal tersebut akan dicantumkan dalam saldo yang disesuaikan berdasarkan siklus, untuk menghindari keberatan bahwa kriteria yang dicantumkan dalam istilah defisit dapat berlaku sebagai penghindaran yang tidak tepat terhadap kebijakan fiskal anti siklus. Atau mungkin akan dicantumkan dalam defisit operasional, untuk menghindari permintaan yang tidak wajar untuk negara-negara yang masih memiliki tingkat inflasi yang lamban dan tinggi. Atau....mungkin akan lebih baik bila IMF membuat penilaian yang dilakukan secara teratur terhadap keadaan fiskal negara yang bersangkutan daripada membuat persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh seluruh negara.

Program reformasi disebutkan [disini].......tidak hanya mengembalikan IMF pada bidang yang merupakan keahlian khususnya, namun juga akan membatasi IMF hanya terhadap dua fasilitas pinjaman, satu dirancang untuk membantu negara-negara mengembalikan likuiditasnya ketika menghadapi guncangan yang hebat, sedang yang lainnya untuk membantu negara-negara mengatasi krisis.
Kemudian pertanyaan yang timbul adalah mengapa penilaian IMF harus dibatasi pada bidang fiskal sja. Mengapa IMF tidak menjalankan Pasal IV kosultasi yang menghasilkan peringkat kebijakan ekonomi makro secara keseluruhan dari sebuah negara? Bisa dipastikan bahwa yang diinginkan terhadap peringkat ini adalah yang seperti dilakukan oleh agen-agen survey ⁹ bukan seperti rating ya/tidak yang terdapat dalam CCL, sehingga negara-negara dapat diturunkan kelasnya jika mereka berhak atas perlakuan tersebut tanpa secara otomatis memicu Armageddon di pasar. Dengan rating yang dilakukan oleh institusi resmi secara teratur juga dapat memecahkan masalah mengenai apa yang akan digunakan untuk menentukan resiko rating yang digunakan dalam menghitung persyaratan pemenuhan modal bank.

Ide lainnya mengenai pencantuman jasa, sebagai tambahan untuk syarat yang diusulkan oleh laporan IFIAC. Hal ini merupakan saran dalam laporan Jenewa (hal. 71) bahwa IMF harus menyediakan sebuah insentif denga memberikan pinjaman untuk jangka waktu yang lebih menarik pada negara-negara yang mana termasuk ketentuan yang wajar dalam perjanjian obligasi untuk membuat obligasi tersebut dapat dinegosiasikan kembali bila menghadapi keadaan krisis. Ketentuan ini “dapat berupa perwakilan mayoritas, saham, non akselarasi, batas tindakan hukum minimum dan klausa perwakilan kolektif, yang mana dua hal terakhir mengijinkan trustee indenture untuk mewakili dan bekerja sama dengan holder obligasi.”
Sehingga saran saya untuk daftar kriteria prakulaikfikasi yang memberikan hak untuk negara-negara dapat mendapat bantuan berdasarkan fasilitas krisis yang dimiliki IMF dengan persyaratan sebagai berikut:
penerapan dan implementasi Basel Core Principles untuk sistem perbankan domestik;
tanda tangan pada Special Data Dissemination Standard;
rating yang baik untuk kebijakan ekonomi makro mengenai konsultasi Pasal IV yang terbaru;
pencantuman tindakan kolektif dan klausa sekutu dalam obligasi asing, terutama obligasi yang belum dilunasi.

Bagaimana dengan penarikan dari fasilitas lain yang saya usulkan IMF harus tetap digunakan: CCFF? Banyak negara yang kelihatannya menderita akibat dari variasi yang kuat untuk harga-harga barang komoditi tidak memiliki sistem perbankan yang maju untuk menerapkan semua Prinsip inti Basel (Basel Core Principles). Dan juga, mereka mungkin tidak mampu mendapatkan jasa statistik yang cukup untuk menerapkan SDDS. Akan merupakan hal yang tidak adil untuk menghukum mereka karena tidak memenuhi standar yang diperlukan untuk melakukan pinjaman pada saat krisis. Mereka harus mau tidak mau harus memenuhi persyaratan yang sama untuk kebijakan ekonomi makro yang baik seperti halnya peminjam yang lain, dan mereka juga harus diberi penghargaan untuk persyaratan lain yang mereka sanggup penuhi.

Penghentian pembayaran. Tiga dari enam sumber yang dianalisa dalam makalah ini – laporan Jenewa, laporan CFR, dan pidato Summer – melihat peranan penghentian pembayaran dalam mengatasi paling tidak beberapa dari krisi account modal. (subjek ini tidak dibahas dalam tiga laporan lainnya). Semua berpendapat bahwa penghentian pembayaran adalah suatu hal yang harus dijalankan sebagai usaha terakhir dan bukan harus dimasukkan kedalam elemen biasa dalam manajemen krisis.
Hal ini merupakan topik yang menurut saya merupakan kebijakan konvesional yang sulit direalisasikan. Dunia telah mecoba untuk menolak bahwa hutang yang belum terlunasi perlu untuk direkstrukturisasi ulang, namun Brady Plan akhirnya mengakui bahwa hal ini tidak perlu. Tidak semua kontijensi dapat diprediksikan, dan karena itu, bagaimanapun terpercayanya debitur, kontigensi masih dapat muncul di mana hal ini merupakan sesuatu yang mahal dan tidak mungkin untuk debitur mempertahankan pembayarannya berdasarkan jangka waktu kontrak yang dibuat pada awal perjanjian. Hal ini sekarang telah diketahui oleh masyarakat luas, namun secara corrollary tidak. Corollary tersebut adalah setiap kreditor yang berpendapat penjadwalan ulang sama mungkinnya dengan insentif untuk mencairkan klaim yang masih mungkin. Pinjaman resmi yang terbatas akan dengan mudah membuat kreditor untuk keluar daripada mencegah mereka untuk tetap bertahan. Pilihan yang ada adalah antara pinjaman resmi yang tidak ada batasan (lender of the last resort yang asli dan bukan bertindak seakan-akan sebagai lender of the last resort) dan penjadwalan ulang hutang. Dalam banyak contoh ketentuan dari likuiditas yang tidak terbatas mungkin merupakan pilihan yang sangat menarik, asalkan paling tidak negara tersebut memiliki dasar untuk hal tersebut sehingga persoalan yang ada adalah kekurangan likuiditas bukan kebangkrutan. Namun, meskipun jika tidak yakin bahwa pinjaman IMF yang lalu merupakan sumber utama dari moral hazard seperti yang diyakini mayoritas dari IFIAC, hal tersebut hampir nampak implausible bahwa pengumuman kebijakan tersebut tidak akan menciptakan moral hazard di masa mendatang. Jika khawatir mengenai hal tersebut, kesimpulan yang logis adalah IMF haruslah tidak memberikan pinjaman untuk keadaan krisis kecuali dalam konteks penghentian pembayaran. Komponen yang esensial dari kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi krisis account modal adalah penjadwalan ulang hutang dengan jangka waktu yang dapat dipenuhi oleh negara tersebut, dan hingga hal tersebut dapat dicapai adalah merupakan tindakan yang sangat bodoh untuk tetap memberikan pinjaman.

Tidak diragukan lagi bahwa pembangunan, dan pengentasan kemiskinan yang berjalan daripadanya, sangat tergantung pada kebijakan makro, dan hal-hal lain yang termasuk dalam keahlian inti IMF.
Hal ini berarti suatu negara yang memutuskan untuk meminjam dari IMF akan diharapkan untuk menyatakan penghentian pembayaran sewaktu bernegosiasi dengan IMF. Hal ini akan memulai negosiasi paling tidak dengan kreditor swasta pada saat yang bersamaan, dengan anggapan bahwa masalah kekurangan likuiditas harus dapat diatasi dengan memperpanjang masa jatuh tempo dan bukan mengurangi nilai saat ini dari hutang yang ada. IMF mungkin dapat menyediakan pinjaman tambahan pada saat negosiasi berlangsung, asalkan IMF yakin bahwa negara yang sedang bernegosiasi dengan kreditornya dapat dipercaya. Dapat disimpulkan negosiasi yang terjadi hanya ketika IMF yakin bahwa bentuk penjadwalan ulang hutang yang disetujui antara debitor dan kreditor adalah yang dapat dipenuhi oleh negara tersebut berdasarkan jangka waktu kontrak yang baru. Hal ini berarti negara tersebut juga harus memulai pembayaran kembali dan memenuhi kewajibannya berdasarkan jangka waktu yang sudah direvisi. Sebagai catatan perjanjian ini memberikan insentif kepada kedua belah pihak untuk mencari penjadwalan hutang segera: debitor akan ditolak untuk mendapatkan pembiayaan tambahan dari IMF jika tidak bernegosiasi dengan itikad baik, dan kreditor tidak akan mendapatkan penyelesaian hutang hingga negosiasi selesai.

Saya setuju dengan banyak literatur yang berpendapat bahwa negara yang menyatakan penghentian pembayaran, bukan IMF. Dapat disimpulkan pernyataan tersebut diberikan bersamaan dengan dilakukannya pendekatan dengan IMF. Saya tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan kesulitan dalam menyatakan penghentian pembayaran sama sulitnya dengan pemaksaan. Dalam hal khusus, saya berpendapat tidak perlu untuk membuat peraturan yang mendetail mengenai jaminan. Negara yang bersangkutan akan memiliki insentif yang kuat untuk menyediakan jaminan yang diperlukan untuk membangun kembali keuangan mereka, karena negara tersebut tahu bahwa penjaman IMF tidak akan diberikan kecuali bila hutang yang dimiliki dijadwal ulang untuk melakukan pembayaran. Jika hal tesebut dapat dicapai hanya dengan menjadwalkan ulang hutan yang belum dilunasi, dan tanpa elemen diskriminasi terhadap Paris Club, maka negara tersebut dapat disimpulkan akan memilih untuk membatasai penghentian pembayarannya terhadap hutang yang belum dilunasi. Namu jika diketahui bahwa Paris Club akan meminta perlakuan yang sama untuk hutang London Club, maka akan merupakan tindakan yang tidak bijaksana untuk memperpanjang penghentian pembayaran terhadap hutang bank, karena setiap bank memiliki insentif yang luarbiasa untuk mencairkan pinjaman manapun sebelum penghentian pembayaran, sehingga dalam keadaan demikian, hal tersebut dapat diharapkan berhasil. Hal yang sama juga berlaku untuk obligasi jika Paris Club meminta perlakuan yang sama untuk obligasi. Dan jika hal tersebut terlihat bahwa negara tersebut tidak dapat pulih tanpa menjadwal ulang hutang corporate, atau ketika terdapat perpindahan modal, maka disarankan untuk melakukan pengawasan perdagangan yang mana hal tersebut akan menghambat pembayaran hutang usaha dan/atau mengawasi perpindahan modal. Namun tidak perlu IMF membebankan peraturan mengenai perpanjangan penghentian pembayaran yang dikeluarkan bersamaan dengan pendekatan mengenai uang. Negara tersebut dapat dibiarkan untuk memilih bagaimana memperluas penghentian pembayarannya.

Kritik mengenai ide penghentian pembayaran biasanya adalah kekhawatiran mengenai dampak legalisasi penghentian pembayaran mungkin mempengaruhi arus kredit untuk negara-negara peminjam. Dapatkah pemberi pinjaman tidak khawatir mengenai kemungkinan penghentian pembayaran dijalankan sebagaimana menurunkan untuk meminjamkan jumlah yang signifikan? Dapat dibayangkan reaksi yang ada jika peminjam memiliki hak unilateral untuk melakukan penghentian pembayaran tanpa hambatan internasional. Namun versi yang saya gambarkan di atas mewajibkan IMF utnuk menyatakan bahwa debitor yang sedang bernegosiasi untuk penjadwalan ulang hutangnya dapat dipercaya sebagai syarat untuk menerima pembiayaan interim, dan negara tersebut mendapatkan perjanjian final hanya setelah hutang berhasil dijadwal ulang. Hal ini biasanya mempercepat keadaan negara untuk pulih, termasuk melakukan pembayaran hutang berdasarkan jangka waktu kontrak. Kreditor yang mengetahui bahwa setiap masalah hutang lancar yang tidak dapat diprediksikan dapat ditangani dengan cara yang tepat seperti ini haruslah klien yang lebih menarik. Hanya ketika negara yang telah membuat hutang pada suatu titik di mana krisis mulai terjadi yang khawatir bahwa kreditor hutang tersebut akan memiliki pendirian untuk tidak memberikan pinjaman, namun hal ini terdapat pada keadaan di mana banyak pihak yang berpendapat lebih baik untuk peminjam melakukan pembatasan. Mungkin benar bahwa persyaratan untuk penghentian pembayaran akan menimbulkan krisis, dan bahkan mungkin menyulitkan negara yang memiliki potensi untuk menyelesaikan krisis dengan mengambil tindakan segera, namun hal ini bahkan memiliki keuntungan dibandingkan bila negara-negara diharapkan untuk menjadwal ulang hutang mereka sebelum catatan diperlukan. Bila kreditor menerima ukuran yang merupakan perluasan dari masa jatuh tempo dan bukan kekurangan dari nilai saat ini, maka dampak pencegahan manapun (selain keadaan dimana hutang telah lebih dulu melebihi jumlah seharusnya) akan hilang.

Jangka waktu Pinjaman. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan mengenai seberapa besar pinjaman yang dapat diberikan pada suatu negara, masa jatuh tempo pinjaman, dan suku bunga yang harus dibayarkan.
Beberapa dari pendapat bahwa pinjaman IMF harus diperkecil jumlahnya terlihat didasarkan pada kepercayaan dan bukan analisa. Saya telah menyatakan bahwa seseorang tentu akan memelukan pinjaman yang besar untuk tujuan agar dapat mengembalikan kepercayaan pasar tanpa penjadwalan ulang hutang sektor swasta. Sebagai tambahan persyaratan penghentian pembayaran dan penjadwalan ulang hutang swasta merupakan hal yang penting jika mengharapkan untuk membatasi jumlah pinjaman IMF dan yakin bahwa mereka dapat memulihkan keadaan keuangan negara tersebut.
Laporan IFIAC menyarankan pembatasan pinjaman IMF hingga pada 120 hari, dengan kemungkinan hanya satu kali perpanjangan. Alasan untuk rekomendasi ini adalah “pengalaman sejarah menyatakan bahwa krisis likuiditas biasanya hanya berlangsung selama beberapa minggu, atau dalam kasus khusus, beberapa bulan” (hal. 46). Hal ini terlihat naif: alasan krisis likuiditas hanya berumur pendek adalah peminjam swasta dengan segera dapat meilhat bahwa negara tersebut akan dapat mencari sumber-sumber dana untuk melakukan pembayaran hutang. Jalan yang pasti untuk memperpanjang krisis adalah dengan membuat kredit IMF cukup untuk jangka pendek untuk membuat peminjam swasta memperkirakan apakah negara tersebut akan sanggup untuk memenuhi kewajiban hutangnya ketika harus membayar hutang IMF. Masa jatuh tempo fasilitas IMF yang tersedia, katakanlah 3-5 tahun, terlihat lebih cocok.

Laporan IFIAC menyarankan agar pinjaman IMF diberikan berdasarkan suku bunga penalti (yang didefinisikan sebagai “premium setelah hutang yang dilunasi dibayarkan satu minggu sebelum meminta pinjaman IMF,” hal. 46). Hal ini berlawanan dengan tradisi yang ada dim mana IMF memberikan pinjaman berdasarkan jangka waktu yang terbaik yang dapat dijalankan oleh negara, tradisi yang berasal dari ide kerjasama bantuan internasional. Kerugian dari tradisi ini adalah hal tersebut dapat mendorong pemerintahuntuk menganggap IMF sebagai sumber pemberi kredit, mencegah pembayaran yang lancar terhadap pinjaman-pinjaman dan bahkan mendorong pemerintah mengajukan pinjaman baru (meskipun hal ini biasanya diperlukan keadaan krisis dulu, hal yang mana tidak disukai oleh pemerintah). Penyelesaian yang diusulkan laporan ODC adalah meningkatkan suku bunga secara progresif berdasarkan peningkatan jangka waktu, sehingga memberikan insentif utuk pembayaran yang lancar tanpa membahayakan keefektifan pinjaman dilihat dari masa jatuh temponya.
Laporan ODC menyatakan bahwa suku bunga konsensional akan diperlukan untuk negara-negara dengan pendapatan rendah jika secara teori hak mereka untuk menarik pinjaman dapat dijalankan. Hal ini juga terlihat memaksa, dan tidak perlu dipertentangkan ide suku bunga yang secara progresif lebih bersifat hukum seiring dengan berjalannya waktu. Tingkat untuk negara-negara ini dapat dimulai dari tingkat konsesional dan kemudian meningkat secara progresif di masa mendatang.
Ide terakhir yang harus diintegrasikan ke dalam struktur suku bunga adalah negara-negara harus diberikan keuntungan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkecil kemungkinan meminjam dari IMF. Hal tersebut adalah, negara-negara harus menghadapi suku bunga yang lebih rendah yang diterima mereka untuk persyaratan yang terdapat dalam hal-hal di atas.
Hasil dari menjalankan ketiga faktor-faktor ini dalam menentukan suku bunga yang dibebankan untuk pinjaman dari IMF adalah membuat daftar suku bunga dan bukan menentukan pola apakah yang diterapkan; A atau B. Hal ini tidak akan merugikan. Komputer sangat ahli dalam membuat perhitungan sehingga akan mudah untuk membuat catatan dari pembayaran yang jatuh tempo. Hal ini juga mempunyai keuntungan besar dalam meningkatkan penalti yang harus dibayarkan oleh negara-negara untuk melakukan kebijakan pembayaran marjinal, dan tidak memperdebatkan dengan IMF mengenai prospek dari mempercepat krisis bila diketahui terdapat penurunan situasi.

Pernyataan Kesimpulan
Kita telah mendengar banyak usulan dalam beberapa bulan terakhir untuk IMF kembali ke dasar atau memfokuskan pada bidang-bidang yang merupakan keahliannya, yang mana semua orang setuju hal tersebut adalah kebijakan makro, penghindaran krisis, dan penyelesaian krisis. Program reformasi yang terdapat dalam bagian sebelumnya adalah berkeinginan untuk melakukan hal tersebut, dan menjalankannya tanpa memberikan paksaan kepada IMF seperti halnya yang dilakukan oleh mayoritas dari IFIAC. Hal ini tidak hanya berarti mengembalikan IMF kepada bidang yang merupakan kemampuannya, namun juga membatasi IMF kepada dua fasilitas pinjaman, satu dirancang untuk mengembalikan likuiditas ketika mendapatkan tekanan yang besar, dan lainnya ditujukan untuk membantu negara-negara untuk menyelesaikan keadaan krisis. Dipahami bahwa dalam dunia mobilitas modal yang tinggi hal ini hampir selalu berkait dengan penjadwalan ulang hutang, karena terdapat usulan untuk negara-negara meminta pinjaman IMF untuk menjalankan penghentian pembayaran, pendekatan yang akan menyelesaikan bahaya dari moral hazard kreditor. Diusulkan penggunaan suku bunga variabel pada pinjaman untuk membangun pola yang terpat dari keuntungan negara anggota untuk memilih kebijakan-kebijakan yang akan memperkecil bahaya terjadinya krisis, dan memudahkan serta mendorong mereka untuk memperlancar pembayaran ketika mereka dihadapi situasi yang mengharuskan mereka untuk meminjam. Sementara hal tersebut mengembalikan IMF kepada bidang keahliannya, hal ini merupakan hal yang pokok bahkan untuk negara anggota termiskin IMF, untuk meyakinkan bahwa IMF akan terus memainkan peranan yang vital di dunia ekonomi.

Catatan
1. 1. Menyebabkan Paul Krugman (2000) untuk berkata “Oh, jelas dapat!”

2. 2. Bagaimanapun, hal tersebut menyarankan suku bung yang lebih rendah untuk pinjaman IMF pada negara-negara peminjama yang termasuk di dalamnya klausa tindakan kolektif dalam kontrak obligasi, saran yang berkaitan dengan hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam makalah ini.

3. 3. Pada pertemuan di Brooking Institution pada tanggal 11 April 2000, Alan Meltzer menyatakan bahwa mayoritas laporan juga menyangkut proposal mengenai perbedaan antara pinjaman pada suku bunga penalti kepada negara-negara yang masuk prakualifikasi (“List A”) dan pinjaman pada suku bunga super penalti untuk pinjaman yang lainnya (“List B”). Saya tidak dapat menemukan satu hal pun dalam laporan mayoritas yang menyatakan interpretasi mengenai hal tersebut, di luar periode transisi, namun kita dapat menginterpretasikan pendapatnya sebagai tanda bahwa setidaknya Ketua Komisi telah merasa yakin pada pendekatan ini.

4. 4. Meskipun demikian, masih terdapat minat terhadap proposal yang diajukan dalam artikel yang terakhir yang mana memfokuskan pada pertanyaan mengenai governance IMF (Askari dan Chebil 1999). Mereka menyatakan perhatiannya terhadap pembagian kuota, dan prosedur sementara (ad hoc) mengenai penyesuaian kuota, di mana menyebabkan penyimpangan-penyimpangan seperti pembagian yang besar sekali untuk negara-negara Eropa dan Saudi Arabia dan pembagian yang sangat kecil untuk Korea Selatan, dan China, serta sejumlah negara Asia. Mereka menyarankan untuk mengurangi mayoritas yang diperlukan untuk menyetujui beberapa ketentuan seperti mengurangi hak veto Amerika Serikat, menentukan persyaratan yang telah dijalankan Kongres secara unilateral terhadap IMF untuk persetujuannya terhadap peningkatan kuota sebagai hal yang tidak dapat ditolerir dari institusi multilateral. (Hal ini termasuk dalam persyaratan 1989 bahwa IMF merekrut ekonom ekonomi makro untuk dilatih dalam menganalisa hubungan antara keadaan makro ekonomi serta dampak jangka pendek dan jangka panjang dalam mempertahankan manajemen dari sumber-sumber alam, dan dalam persyaratan 1998 bahwa tidak ada dana IMF yang digunakan untuk mensubsidi industri Korea Selatan yang bersaing dengan industri Amerika Serikat, lihat Askari dan Chebil 1999, hal. 351). Mereka mengajukan sejumlah proposal untuk mengembangkan kegiatan Dewan Eksekutif: mencari keragaman yang lebih luas dari Direktur Eksekutif, dan bahkan menunjuk dua orang Direktur Eksekutif yang berasal dari sektor swasta dan bukan berasal dari negara afiliasi; membuat kententuan negara multi; dan mendorong Dewan untuk memulai mengajukan proposal daripada mendapatkan proposal dari insiatif para staff. Mereka menyatakan bahwa posisi direktur manajer dan wakil direktur manajer harus diberikan pada individu yang paling baik yang ada, tanpa membedakan kebangsaan dan latar belakang profesi, dan menghilangkan simpati untuk kandidat dari sektor keuangan swasta. Mereka mendorong agar staff juga harus lebih beragam dalam latar belakang profesi daripada ekonom dengan gelar PhD dari universitas-universitas Amerika, dan harus ada penghargaan yang lebih tinggi untuk kinerja yang baik dan usaha yang lebih besar lagi untuk memecat staff yang menunjukkan kinerja yang buruk. Mereka mengkritik penggunaan IMF sebagai dana politis (untuk hal ini mereka juga dapat ditemukan dalam lima laporan yang telah ditinjau, meskipun tidak termasuk pidato Summers). Mereka mengusulkan transparansi dan hal-hal untuk menjelaskan catatan sejarah korupsi IMF. Mereka menyimpulkan bahwa telah tiba masanya untuk meninjau secara menyeluruh governance IMF terhadap kebijakan yang dibuatnya, dan mendorong manajemen IMF untuk menjangkau komunitas sipil internasional dalam mengusulkan tinjauan yang mungkin dapat menmperkuat IMF dan meningkatkan kinerjanya.

5. 5. Meskipun demikian, anggota mayoritas IFIAC dalam perbincangan pribadi mereka mengusulkan bahwa tidak perlu mencermati teks laporan tersebut secara harfiah, dan menyatakan bahwa mereka tidak menentang pemindahan PGRF ke Bank Dunia.

6. 6. terutama, IMF diijinkan untuk menjual sebagian kecil dari emas yang ada pada tahun 1970-an, setelah penggunaan emas sebagai mata uang dihentikan pertama kali, dengan tujuan untuk menciptakan trust fund untuk memberikan pinjaman dengan bunga rendah kepada negara-negara miskin. Di akhir tahun 1970-an IMF juga memberikan pinjaman stand-by kepada negara-negara miskin, yang mana mereka tidak dapat membayar sebagai akibat dari situasi di tahun 1980-an. Namun keduanya kemudian dibiayai kembali melalui pinjaman dengan bunga rendah dari Structural Adjustment Facility atau Fasilitas Penyesuaian Struktural yang baru dibentuk di tahun 1980-an, yang mana kemudian berkembang menjadi Enhanced Struktural Adjustment Facility di tahun 1990-an, yang kemudian berganti nama menjadi PGRF di tahun 1999 sebagai gambaran dari meningkatnya perhatian terhadap kemiskinan.

7. 7. Beberapa orang menyatakan bahwa IMF harus membantu negara anggotanya, dalam hal ekuitas. Namun negara-negara miskin masih dapat memanfaatkan keuntungan dalam hal saran mengenai kebijakan, jika mungkin dalam hal penghindaran krisis, dan penyelesaian krisis berdasarkan proposal ODC, dan juga CCFF. IMF mungkin mempertimbangkan untuk mengembangkan akses terhadap CCFF.

8. 8. Hal ini menjelaskan kesamaan tehadap CFR proposal untuk mengkonsolidasi SRF dan CCL ke dalam fasilitas yang baru, meskipun kurang persyaratan yang dipertimbankan untuk fasilitas yang buruk menurut saya sama tidak realistisnya dan berbeda secara signifikan dengan proposal berikutnya.

9. 9. Meskipun dijelaskan dalam bahasa yang lebih sederhana dari BBB versus BB-.

Referensi
John Williamson

Rekan Senior, Institute for International Economics

Askari, Hossein, dan Samir Chebil (1999), “Reforming the IMF: Some organizational and operational issues,” Banca nazionale del Lavoro Quarterly Review.

Ahluwalia, Montek (199), “The IMF and the World Bank in the New Financial Architecture,” in International Monetary and Financial Issues for the 1990’s, vol. XI (New York and Geneva: United Nations); dalam makalah ini disebut sebagai “laporan Ahluwalia.”

Council on Foreign Relations Independent Task Force (199), Safeguarding Prosperity in a Global Financial System: The Future International Financial Architecture (Washington: Institute for International Economics); dalam makalah ini disebut sebagai “laporan CFR.”

De Gregorio, Jose, Barry Eichengreen, Takatoshi Ito, dan Charles Wyplosz (tidak tertera tanggal namun keluaran tahun 1999), An Independent and Accountable IMF (Jenewa: International Center for Monetary and Banking Studies, dan London: Centre for Economic Policy Research); dalam makalah ini disebut sebagai “laporan Jenewa.”

International Financial Institution Advisory Commission (2000), Report of the Internatioanl Financial Institution Advisory Commission (Washington: penerbit tidak ada); dalam makalah ini disebut sebagai “Laporan IFIAC.”

Krugman, Paul (2000), “Errors of Commission,” New York Times, 8 Maret.

Summer, Lawrence (1999), “The Right Kind of IMF for a Stable Global Financial System,” pada pidato London Business School, 14 Desember.

Williamson, John (1983), IMF Conditionality (Washington: Institute for International Economics).

______(akan terbit tahun 2000), Exchange Rate Regimes for Emerging Markets: Reviving the Intermediate Option (Washington: Institute for International Economics).

                                                                                                                                                                               rmlunijaya/posting/mei/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar